Rabu, 03 Februari 2016


Aku memiliki banyak pemuja, manusia adalah pemujaku yang paling setia. Mereka mengejarku dengan berbagai cara, mereka sebegitu ingin mendapatkanku dan membuang rasa kemanusiaanya, membuang dan menukar segala yang mereka miliki demi diriku. Mungkin saja dalam pandangan keseharian mereka tidak terlihat berlutut dan bersujud dihadapanku, tapi hiruk pikuknya dunia, dan banyaknya perselisihan antar sesama mereka adalah lebih dari cukup bukti bahwa mereka pemujaku.

Sangat sulit bagi mereka untuk membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, sehingga tak tarang mereka menganggapku sebagai segalanya, atau lebih tepatnya sebagai senjata untuk berperang mendapatkan segalanya. Kekeluargaan, kerukunan, kebersamaan, tali persaudaraan semua hampir mereka singkirkan demi aku, indah dan harumku menyesatkan sebagian besar dari mereka.

Dengan jumlahku yang semakin banyak mereka mempergunakanku untuk mendapatkan wewenang lebih dalam salah satu organisasi panggung politik yang bangsa mereka miliki, setelah mereka mendapatkan wewenang lebih, lalu mereka berusaha untuk mendapatkan aku dengan jumlah yang meleibihi diriku sebelumnya. Berkedok pemimpin, berpakaian rapih, tunggangan gahar dimasa kini yang terlihat apik dimasa kini tak kurang dan tak lebih terlihat seperti serigala kelaparan bermandikan air liur dimulutnya, mereka takkan puas bila hanya mendapatkan aku dengan jumlah sedikit, mereka akan terus memanfaatkan dan mengorbankan segalanya demi diriku.

Beberapa tokoh politik tersohor di media yang terkenal terjerat kasus korupsi, nafsu menggebu-gebu dan menggelegak menutupi akal pikiran mereka, aku yang seharusnya jadi nafas segar bagi orang-orang yang lebih layak mendapatkan dan mempergunakan aku dengan bijak, malah mereka sikat habis seperti aji mumpung. Aku sendiri hanya bisa menggeleng-geleng dan menepuk jidat bila aku makhluk hidup.

Ada yang main bersih dalam bersandiwara, dan ada juga yang main agak kasar dalam hal mendapatkanku. Mereka rela terlihat seperti ikan lele yang memakan sesama karena saking kelaparanya, saling menebas leher, anggota tubuh lainya, melumpuhkan sesama mereka sejadi-jadinya demi kepentingan mereka, apapun bisa agar aku didapatkan. Bermodalkan nekat bukan kepalang seperti banteng membabi-buta, perlakuan mereka bahkan sudah tak layak dibilang seorang manusia.
Indonesia rawan begal dimana-mana, dan tidak kenal waktu entah itu siang, sore, apalagi malam. Dari pisau, pedang, dan pistol asalkan bisa melumpuhkan dengan cepat korban. Mengingat saat ini bukan lagi zaman perang, tetapi justru kemungkinan perang antar sesama manusia saat ini bisa terjadi kapan saja, asalkan aku bisa menyenangkan hasrat mereka. Bahkan harum wangi diriku bisa merasup pada manusia yang masih berumur jagung dan muda, mereka ikut terhasut oleh orang dewasa agar ikut dalam komplotan tak kenal segan dalam bertindak demi diriku. Ingin rasanya aku tertawa, tentu mereka akan lari terbirit-birit jika aku melakukan itu, jadi aku diam saja. Mungkin saja mereka terobsesi pada gambar pada tubuhku, yaitu gambar beberapa para pahlawan dimasa penjajahan dulu, jadi mereka bertindak seolah sedang melawa penajajah, tapi malah terlihat seperti binatang buas tak bertaring.

Padahal, mereka terlahir tanpa diriku sebenarnya mereka sudah lebih dari kaya, bahkan konglomerat. Bagaimana tidak ? Mereka dianugrahi berbagai macam organ yang memiliki fungsi luar biasa, tak ada duanya bila dibandingkan dengan diriku. Jika saja mereka mengerti dan paham cara menggunakan potensi dan apa yang mereka miliki, bisa saja malah aku yang datang dan menghampiri mereka, bukan mereka yang tertatih mengejarku dengan berbagai cara rumit.

Menjual atau mencuri organ manusia itu adalah tindakan keji, bahkan kata keji sendiri bisa jadi tidak cukup untuk mewakilkan tindakan itu hanya karena untuk mendapatkanku, ironi sekali. Mereka mempreteli tubuh mereka seperti mainan robot, mengganggap sepele dan berpikir bahwa aku dapat jadi apa saja dan menjadi apa saja bagi mereka, padahal bisa jadi akulah hambatan dan ancaman paling berbahaya sekalipun mereka memiliki diriku yang ada di seisi dunia.

Para petinggi membuat permainan dengan bersenjatakan diriku, mereka mengatur aturan dalam satu lingkup besar di negeri ini. Dengan begitu mudahnya mereka mengatur sesama mereka dengan keberadaan diriku, saling melecehkan harga diri sesama mereka dengan nominal yang ada pada diriku. Dan kaum rendah dari sebagian mereka rela menjual harga diri mereka demi mendapatkan diriku, semalam, dua malam tak mengapa, asalkan aku ada untuknya dan hadir mencukupi kebutuhan mereka. Tidakah mereka hanya butuh sehelai kain dan sepotong roti bila hidup sesederhana yang seharusnya ? tapi tidak sesederhana itu dalam pikiran mereka. Banyak yang tidak mengucap atau meyakini aku adalah dewa mereka, tapi perlakuan mereka sejak aku dijadikan alat pembayaran hingga kini sudah mencerminkan aku adalah dewa mereka.
Perkenalkan, namaku adalah UANG.

0 comments:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube